Gue bukan RioPHOBIA

“Pagi, Siviaaa…”

“Hai, Sivia…”
“Cantik banget siih,”

“Nengok kesini dong!”

Aku Sivia Azizah, panggil saja aku Sivia atau lebih singkatnya lagi Via. Aku kelas 10 SMA Citra Negara, dan berumur 15 tahun. Saat ini aku sedang berjalan menuju gerbang sekolah karena sudah waktu jam pulang. Semua mata laki-laki memandangku, bukannya aku geer ya, emang bener. Aku tetap berjalan melewati mereka tanpa memperdulikan mereka, aku tak pernah mau memandang mereka. Karena itu, para anak perempuan memandangku sebagai anak yang sok jual mahal. Coba saja dengar pendapat mereka.

“Ih, sombong banget, sih!”

“Tau, mentang-mentang cantik!”

“Cantik-cantik belagu!”

Tuh, denger aja ocehan mereka, sumpah demi apapun omongan mereka bikin kupingku panas. Tapi buat apa ditanggapi, bikin kesel aja. Mereka cuma melihat dari luarnya saja, mereka melihatku sebagai orang yang sombongnya setengah mampus. Padahal mereka tak tahu apa yang terjadi sebenarnya.

Yang harus kalian ketahui, aku ini seorang Androphobia. Pada kagak ngerti kan? Yaaa lebih jelasnya aku ini phobia…COWOK!!! Sekali lagi COWOK!!! Aku gak pernah mau deket-deket sama cowok, ataupun memandang mereka meskipun hanya beberapa menit, bahkan detik. Ini semua karena aku takut COWOK! Karena itulah selama 15 tahun aku gak pernah ngerasain rasanya jatuh cinta atau pacaran. Phobiaku terhadap cowok ini berawal saat aku lima tahun, aku terus-terusan diganggu oleh sekumpulan cowok-cowok yang lebih tua setahun dariku. Dan yang aku tahu yang memimpin mereka adalah Mario. Mario siapa namanya aku gak tahu. Maklum masih kecil. Karena dulu aku selalu dikerjain habis-habisan, aku jadi takut sama cowok. Pokoknya aku benci sama anak item, ceking, begeng yang bernama Mario ituu!! Ehm, maap aku jadi curcol.

“Siviaa!! Gue minta nomor hape lo dong!”

“Sivia boleh megang tangan lo gak??”

“Sivia senyum dong!”

Masya Allah! Kelakuan para cowok makin ganas dan gila, alhasil, aku langsung lari tunggang langgang menuju toilet. Aku masuk ke toilet yang berada paling pojok dan langsung menguncinya. Aku mengelap keringat dengan saputanganku yang sedaritadi bercucuran.

“Najong dah, cowok-cowok disini makin gila aja!” gumamku.

Setelah aku sudah selesai mengatur napasku yang terengah-engah, dan lelahku juga sudah mulai hilang, aku membuka pintu toilet, tapii…O,o KEKUNCI!!! Aduuh! Gawat!! Aku berusaha membuka pintunya, tapi tetap tak bisa. Aku pun mencoba untuk menendang pintu sialan ini. Mula-mulanya aku berpikir, kalo aku tendang pintunya, pintunya bakal rusak dan aku harus ganti rugi. Tapi…biar aja deh, yang penting aku bisa keluar dengan selamat. Aku mulai menghitung dari satu.

“Satu, dua…Tigaa!!”

BRAAAK!!
“Aduuuh!!!” Kakiku kesakitan akibat menendang pintu sialan. Pintunya kuat banget. Mamaa…tolong aku…Satu-satunya yang harus aku lakukan supaya aku bisa keluar adalah…MINTA TOLOONG!!

“Toloong!!! Aku kekuncii!!” aku berteriak sambil memukul-mukul pintu supaya ada yang mendengar. Tapi tetap saja tak ada jawaban dari luar sana. Tanganku sudah mulai merah akibat menggebrak pintu ini. Aku meringis kesakitan. Akhirnya aku mulai putus asa, aku sudah kelelahan. Tidak mungkin ada yang menolongku sekarang, semua sudah pulang, termasuk para penjaga sekolah. Aku hanya bisa menangis di dalam toilet.

“Halo?? Ada orang?”

Aku mendengar suara dari luar sana, tangisanku berhenti. Tapi kenapa…suara cowok?? Ini kan toilet wanita!

“Ada orang gak???” tanya cowok itu lagi.

Aku memberanikan diri untuk ngomong dan melawan rasa takutku pada cowok.

“A…ada! Tolong! Aku kekunci!”

“Ha? Kok cewek? Apa jangan-jangan…”

Oh, my God! Pake ngoceh dulu lagi. Orang lagi kekunci, malah nganggep aku hantu.

“Plis!! Bukaiin!”

“Yaudah, lo naik keatas kloset! Gue mau dobrak pintunya!!” suruh cowok itu.

Aku menuruti suruhannya. Aku naik keatas kloset dan menunggu pintu tersebut di dobrak.

BRAAAK!!!
Pintu sukses di dobrak, ingin sekali aku langsung sujud syukur di toilet bau ini, tapi aku lupa ini toilet, nanti saja sujud syukurnya. Seorang cowok memandangku dengan mata melotot hampir keluar dari kelopak matanya, aku jadi berkeringat, ketakutanku akan cowok muncul lagi.

“Heh!! Lo gak liat tulisan di pintu ini?? Udah ditulis gede-gede, lo masih gak nyadar??” Cowok itu mengambil kertas yang tertempel di pintu sialan itu dan memperlihatkannya di depan mataku.

“Liat tulisannya!! RUSAK!! R-U-S-A-K!! Mata lo taro dimana siih??”

Aku ingin menangis, aku semakin takut.

“Udah kagak liat tulisan ini, lo juga gak liat ini toilet apa, ini toilet COWOOOK!!!!” Nada cowok itu semakin tinggi.

Rasanya aku mau pingsan, cowok ini terlalu dekat, kepalaku pusing. Aku tahu dia siapa, dia Kak Rio, si Ketua OSIS yang sangar melebihi singa liar. Singa juga takut sama dia. Omongannya terlalu tajam. Bagi aku yang phobia cowok, mending aku mati saja. (lebay deh -.-). Aku langsung mendorong Kak Rio dan langsung kabur keluar toilet.

“Yeuuh, tu cewek bener-bener ya!! Awas lo, gue sumpahin idung lo gede nyaho lho!” gerutu cowok itu.

Aku terus berlari menuju gerbang sekolah, aku ngos-ngosan, ternyata Kakak laki-lakiku, Alvin sudah menunggu di depan gerbang sambil memasang wajah cemberut.

“Viaaa, lo darimana ajaa?? Ngepel dulu??” tanya Kak Alvin.

“Ceritanya panjang, Kak! Ayo cepetan!” Aku langsung naik ke motor Kak Alvin.

O,iya aku memang phobia cowok, tapi bukan berarti aku juga takut sama Papa ataupun Kakak laki-lakiku ini. Mereka pengecualian, mungkin saja karena mereka adalah keluargaku. Aku hanya phobia dengan cowok yang bukan saudara atau keluargaku. Guru juga mungkin termasuk pengecualian ya, aku hanya phobia dengan cowok yang umurnya tak jauh dariku, dan mereka bukan keluargaku. (banyak banget aturannya, yaa…supaya lebih jelas ;p)

***
“Huahahahhaaaa!!!” Kak Alvin ketawa sekencang-kencangnya. Aku manyun melihat Kak Alvin yang geli dengan ceritaku.

“Hahhahaaa!!!” ini lagi adik perempuanku, Acha juga ikut-ikutan ketawa.

“Aduuh, nyebelin banget siih!!!” aku menggerutu kesal.

“Aduuh, makin gila aja tuh anak-anak satu sekolahan. Kalo misalnya gue bukan kakak lo, terus gue juga ikut-ikutan ngejar lo, lo bakal takut gak di sukain sama cowok ganteng setengah mampus kayak gue?” tanya Kak Alvin.

“Aku langsung gantung diri, Kak!”

“Haha, untung Kakak gak takut sama Kak Alvin dan Papa, kalo nggak, beneran udah bunuh diri kali, Kak!” celetuk Acha.

“Haaah, aku jadi pengen masuk sekolah cewek deh,” gumamku. Yaa…supaya aku terbebas dari cowok-cowok gila.

“Phobia lo muncul gara-gara anak laki-laki yang namanya siapa tuh? Vario? Pario?”

“Mario, Kak Alviin!!” seru Acha.

“O,iya…Mario, lo ketemu sama dia dimana sih??” tanya Kak Alvin.

“Gini ceritanya…”

_Flashback_

Sepuluh tahun yang lalu…
Aku sedang bermain boneka Barbie di taman, dan aku sedang mendendangkan sebuah lagu kesukaanku.
“Barbie…kamu tuh cantik banget yaa…” seruku sambil mengelus rambut pirang Barbie.
Tiba-tiba ada seorang anak cowok merebut Barbie kesayangku dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
“Hei!! Balikiin!!” aku berteriak sambil menggapai-gapai Barbieku. Cowok itu terlalu tinggi.
“Gak!” tolak anak cowok itu.
“Balikiin!!”
“Mario, kita apain nih?” tanya salah satu temannya. Dari situ aku baru tau namanya adalah Mario.
Aku sudah mulai ketakutan, mereka mau menggangguku. Aku mau teriak minta tolong Kak Alvin, tapi aku lupa jarak rumah sama taman ini kan agak jauh. Kemudian mata cowok itu, tertuju pada kalung yang aku genggam di tangan, ia langsung merampasnya dari tanganku.
“Jangaan!!!”
“Wah, kalungnya bagus! Kabuuur!!!” suruh cowok itu. Ia dan teman-temannya langsung kabur membawa kalungku dan melempar Barbieku.
Aku menangis sendirian di taman, dengan langkah gontai aku mengambil Barbieku yang tergeletak di atas tanah. Setelah itu aku berjalan menuju rumah dengan langkah gontai. Saat Mama, Papa, dan Kak Alvin (Acha tidur dikamar maklum masih tiga tahun ;p) melihat wajahku yang basah karena menangis, dan terlihat sangat kotor, mereka langsung bertanya padaku apa yang terjadi. Tapi aku hanya menangis, dan tak mau memberitahu mereka, aku hanya bilang bahwa kalung pemberian Mama hilang dan aku terus mencarinya ke suatu tempat, tapi tak bisa ditemukan. Mama hanya tersenyum dan memelukku. Sejak saat itu aku takut banget kalo ketemu cowok yang tak dikenal, ataupun cowok yang mulai menggangguku.
_Flashbackend_


Kak Alvin dan Acha terus memandangku tanpa berkedip. Aku hanya mengkat alis dan memandang mereka dengan heran.

“Kenapa sih mandangin aku kayak gitu?” tanyaku.

“Kenapa lo baru jujur sekarang, Siviaaa??” tanya Kak Alvin sambil berteriak di kupingku.

“Maaf…” gumamku.

“Aduuh, punya adek bebel banget deh!” gerutu Kak Alvin.

“Ya…terus mau gimana lagi? Dicari anaknya juga gak bakalan ketemu!”

“Tapi pasti kan dia rumahnya di deket situ!”

“Udahlah, Kak! Gak usah di permasalahin! Udah lama banget itu!” seruku.

“Esmosi sayaa!! Punya adek otaknya bebel kayak lo!” Kak Alvin menoyor kepalaku. Aku hanya manyun saja.

“Huaaa…forumnya selesai dong, Acha ngantuk nih…” gumam Acha.

“Yaudahlah, tidur lo berdua, besok kan sekolah! Vi, mau bareng gak besok?” tanya Kak Alvin.

“Iya, aku bareng Kakak,” aku berjalan menuju kamarku yang serba warna biru itu. Aku merebahkan badanku diatas kasur.

Entah kenapa, tiba-tiba aku memikirkan Mario, setan kecil yang sudah mengambil kalung kesayanganku. Tapi kenapa yang terbayang pikiranku, Mario itu adalah Kak Rio, si Ketua OSIS?? Ah, gak mungkin Mario itu Kak Rio! Daripada memikirkan hal yang tidak jelas itu, aku lebih memilih untuk tidur.

***

Perpustakaan
Saat ini aku sedang mencari-cari buku yang telah lama ingin ku pinjam, tapi gak ketemu. Bukunya gak ketemu tapi malah ketemu cowok-cowok. Cowok-cowok yang ada di perpus, pada melihat kearahku. Aku jadi mulai risih. Tangan boleh megang buku, tapi ngeliatnya tetep ke aku. Aku udah keringetan.

“Woi! Pada ngeliatin apaan siih!?” seru seorang cowok yang suaranya sangat aku kenal. Aku melirik sekilas kearah suara itu. Masya Allah!! Kak Rio!

“Eh, lo kan…” kata Kak Rio sambil menunjuk kearahku. Aku ketakutan setengah mati.

“Fy, aku ke toilet dulu ya,” bisikku ditelinga Ify.

“Ha? Kamu mau nyari buku di toilet? Emang ada?” tanya Ify yang otaknya rada-rada gimana gitu…

“Eheheee…ada!”

“Hm..kalo ketemu bukunya bilang ya! O ya jangan lupa kalo buku yang aku cari ada juga disitu, tolong ambil!”

Aku hanya terseyum masam, bisa-bisanya aku punya teman yang rada telmi kayak si Alyssa Saufika Umari ini. Untung aja cantik, kalo nggak gak tau deh…aku langsung melesat kabur keluar Perpus.

“Eh!! Tungguu!!!” seru Kak Rio.

Kenapa tuh orang malah ngejar aku siih!! Aku makin meningkatkan kecepatan lariku, saking takutnya sama Kak Rio. Kak Rio ngejar aku udah kayak lagi ngejar mangsa, dan skakmat, tanganku berhasil ditariknya. Aku tak berani menatap matanya.

“Eh, kemaren kan lo udah dorong gue! Kenapa lo gak minta maaf sama gue?” tanya Kak Rio.

Aku tetap menunduk.

“Eh, ngapain sih lo nunduk-nunduk gitu? Ada duit jatoh?”

Aku mencoba melepas tanganku dari genggamannya, tapi gak bisa. Dia terlalu kuat, hiks…Kak Alvin lewat kek, tolongin aku…

“Eh, minta maaf lo!”

Saking keselnya, aku langsung menginjak kaki Kak Rio yang keliatan cuma tulang dibaluti kulit (maap ya RISE).

BUUUGH!!
“Aduuh!!!!” Kak Rio langsung memegang kakinya yang tadi kuinjak dengan sekuat tenaga.

Aku langsung kabur begitu Kak Rio lengah.

“Woi!! Jangan kabur lo!!”

Aku langsung ngumpet di gudang yang kosong yang kebetulan pintunya kebuka. Aku menutup pintunya. Aku mengatur napasku yang ngos-ngosan abis dikejar singa eh, salah Kak Rio.

“Woi! Kok lo bego banget sih!!” teriak Kak Rio dari luar.

Dih, belom apa-apa udah ngatain aku bego, nyebelin banget sih!

“Gudang kan gak bisa kebuka dari dalem!!”

Mataku melotot, aduuuh! Bego banget! Aku memukul-mukul kepalaku. Bener kata Kak Alvin, otakku bebelnya gak ketulungan.

“Kak…bukain…” kataku dengan suara kecil.

“Lo harus minta maaf dulu sama gue!” suruh Kak Rio.

Aku menelan ludah. Mau gak mau aku harus minta maaf sama dia.

“A…aku minta maaf…”

“APA?? GAK KEDENGERAN!!”

Ya, Allah! Ampunilah hambamu yang satu ini!

“Aku mintaa maaf!!!” aku berteriak sekencang-kencangnya.

Aku mendengar Kak Rio tertawa dengan kencang, seandainya aku gak phobia cowok, aku bakal bunuh dia langsung begitu aku keluar dari gudang. Aku menjauh dari pintu gudang, dan akhirnya Kak Rio membuka pintu gudang.

“Aduuh, lo tuh bego banget ya! Udah tahu gudang gak bisa dibuka dari dalem!”

Tiba-tiba pintu tertutup sendiri akibat angin.

BRAAAK!!!
“Mampus!” umpat Kak Rio. Kak Rio langsung mencoba untuk membuka pintu gudang.

“Kan…gak bisa dibuka dari dalem,” gumamku dalam suara kecil.

“Aduh! Mati gue!”

Kak Rio duduk disamping gue, tapi karena gue takut, gue langsung duduk menjauh dari Kak Rio. Kak Rio menatapku heran. Dia menggeser duduknya supaya lebih dekat lagi ke aku, aku malah geser menjauh lagi, begitu seterusnya, sampe Kak Rio kesel banget ngeliat aku.

“Lo tuh kenapa sih? Kok kayaknya lo gak mau deket sama gue??” tanya Kak Rio heran.

Aku gak jawab pertanyaan Kak Rio. Kak Rio mncoba untuk mendekatiku lagi, aku segera ngejauh dari Kak Rio tapi Kak Rio malah narik tangan aku. Sukses bikin aku deg-degan, sampe kedengaran kayak suara bedug takbir.

“Lo tuh kenapa sih? Lo benci sama gue?” tanya Kak Rio dengan nada sedikit lembut.

Entah kenapa rasa takutku dengannya sedikit demi sedikit hilang. Tapi tanganku tetap gemeteran, Kak Rio merenggangkan genggaman tangannya yang begitu kuat.

“Kalo lo benci sama gue, bilang aja,” gumam Kak Rio. Aku mendesah.

“Aku…aku gak benci Kakak, kok…” gumamku.

“Terus kenapa lo gak mau deket sama gue?”

“Aku…aku…” aduuh susah banget aku ngomong kalo aku phobia cowok.

“Aku kenapa?”

“Pho…phobia co…cowok…” tuturku dengan wajah semakin merah. Aku maluuu..aku melirik kearah Kak Rio sebentar, dia cengok. Gak kedip sama sekali.

“Lo phobia cowok??” tanya Kak Rio dengan nada tidak percaya. Aku manggut-manggut. Aku yakin dia bakal ngetawain aku.

“Bhahahahahhaaa!!!”
Tuh kan bener! Dia ngetawain aku, mukaku semakin merah, dan bibirku manyun satu cm dikali dua cm. Menyebalkan!!

“Hmph! Maaf! Gue kaget! Baru kali ini gue kenal cewek kayak lo!” seru Kak Rio.

Aku hanya diam saja. Seharusnya gak usah aku kasih tahu.

“Ngomong-ngomong lo adeknya Kak Alvin ya? Sivia?” tanya Kak Rio. Aku mengangguk.

“Pantes mirip, kok bisa-bisanya lo punya phobia macem gitu?”

“Itu semua gara-gara aku pernah digangguin sama cowok, dan gengnya, udah gitu dia ngambil kalung aku, sejak saat itu aku mulai takut dengan cowok,” tutur aku.

Kak Rio terdiam.

“Ehm, berarti lo gak bisa nikah dong?” tanya Kak Rio. Aku terbelalak.

“Maksud Kakak?” tanyaku.

“Yaiyalah, lo kan phobia cowok, gimana lo bisa nikah nanti?” celetuk Kak Rio. Sukses membuatku marah. Darahku naik ke ubun-ubun.

“Jadi sampe sekarang lo gak pernah ngerasain namanya pacaran ataupun cinta?” tanya Kak Rio. Aku mengangguk.

“Pantesan, lo gak pernah mau natap cowok, ataupun nyapa mereka kalo lo lewat, temen gue ada yang sampe patah hati tau!” gumam Kak Rio. Kemudian kami terdiam satu sama lain.

“Gimana kalo misalnya gue bantu ngilangin rasa takut lo itu?” tawar Kak Rio.

“Kakak beneran mau bantu aku?” tanyaku.

“Yaa..sebisanya deh,”

“Thanks ya, Kak..” aku tersenyum.

Ternyata Kak Rio baik juga ya, rasa takutku terhadap Kak Rio semakin lama semakin menghilang, aku merasa nyaman saat berada di sampingnya.

“Nah sekarang pikirin caranya supaya bisa keluar!” kata Kak Rio. Pandanganku tertuju pada sebuah jendela yang berada di atas.

“Lewat jendela, Kak!” aku menunjuk kearah jendela. Kak Rio mengambil bangku.

“Gue naik duluan, ya!”

“Aku gimana?”
“Lo belakangan, ntar gue tangkep dari bawah!” Kak Rio berhasil keluar dengan sukses melewati jendela.

“Ayo, cepetaan!!” suruh Kak Rio.

Aku naik keatas bangku dan setelah itu naik keatas jendela, aku melihat Kak Rio sudah berada di bawah.

“Vi, ayo loncat!”

“Aku takut, Kak!”

“Tenang aja! Percaya sama gue!”

Aku pun melompat dari jendela kearah Kak Rio.

BRUUUKK!!

Alhasil, aku dan Kak Rio terjatuh diatas tanah.

“Vi, cepetan banguun, beraat!!” Aku langsung bangun dari atas badan Kak Rio. Mukaku merah gak karuan.

“Hahahhahaa..” tiba-tiba Kak Rio ketawa.

“Kenapa?”

“Gak papa kok,” aku hanya tersenyum masam.

“Vi,”

“Hm?”
“Kayaknya gue pernah liat lo,” kata Kak Rio.

“Ha? Yaiyalah sering liat, kan satu sekolah,”

“Bukan, kayaknya gue pernah liat lo, rasanya gue udah pernah kenal lo daridulu,”

Aku terdiam.

“Yasudahlah, udah yuk!”

***
Kak Alvin dan Acha memandangku dengan penuh heran, karena sedaritadi aku senyam senyum sendiri gak karuan.

“Lo sakit?” tanya Kak Alvin.

“Nggak,”

“Lo gila?”
“Apalagi gila? Nggak lah!”

“Terus kenapa, Kak?” tanya Acha.

“Aku cuma lagi seneng aja!” aku nyengir.

“Seneng kenapa?” Kak Alvin duduk di sampingku.

“Aku lagi jatuh cinta,” eh! Aku keceplosan! Aku langsung menutup mulutku. Kak Alvin cengok, Acha mangap.

“Huahahahahhaaa!! Lo kan phobia cowok! Masa jatuh cinta sih! Jangan-jangan lo suka sama cewek ya?” tuduh Kak Alvin.

“Ih, sembarangan aja sih! Aku beneran lagi jatuh cinta, Kak Alviin!!” gerutuku.

“Emang lo suka sama siapa?” tanya Kak Alvin sambil menyesap hot chocolatenya.

“Samaa…Kak Rioo..”

BRUSSSH!!!

Sial!! Jorok banget sih Kak Alvin! Kaget sih kaget, tapi jangan nyembur juga kalee…Mukaku jadi belepotan semburan hot chocolatenya Kak Alvin, aku ngambil tissue yang ada didepanku dan mengelap mukaku. Acha hanya ketawa.

“Ha? Lo suka sama Rio??” tanya Kak Alvin. Aku mengangguk.

“Kok bisa?”

“Soalnya dia baik banget,” jawabku singkat.

“Yaa, gue juga gak ngelarang lo buat suka sama dia, lakukan sesuka lo laah,” kata Kak Alvin.

“Thanks, Kak!”

***
Rio memandang kalung yang bersimbol huruf “S” yang ada di genggamannya.

“Apa jangan-jangan dia cewek yang dulu gue ambil kalungnya ya?” gumam Rio.

“Tapi mukanya mirip,”

“Seandainya itu bener dia cewek yang dulu dan dia tau siapa gue...berarti dia bakalan benci gue, gue gak bisa jadi…pacarnya…” gumam Rio. Rio mendesah pelan. Ia menaruh kalung itu di atas meja belajarnya.

***

“Sivia?”
Aku menoleh, senyumku merekah begitu melihat Kak Rio ada di hadapanku.

“Kenapa, Kak?”

“Gue pengen ngomong sama lo, tapi di taman aja ya,”

Kak Rio mengajakku ke taman. Mau ngapain ya? Apa jangan-jangan dia mau nembak aku? Aduuh geer sumpah. Tapi aku ngarep dikit sih ;p.

“Vi, sekarang gue ngerti kenapa gue ngerasa kalo gue pernah liat lo dulu,” gumam Kak Rio.

Aku terdiam, aku gak ngerti.

“Ternyata selama ini yang bikin lo jadi Phobia cowok adalah….” Kak Rio mendesah pelan.

“Gue.”

Aku mematung.

“Gue adalah cowok yang dulu pernah gangguin lo sama temen-temen gue, gue yang udah ngambil kalung lo itu,” aku Kak Rio.

“Jadi kamu Mario yang selama ini aku benci?” tanyaku dengan nada tak percaya.

“Iya,”

Aku langsung berlari meninggalkan Kak Rio. Ternyata benar yang aku pikirkan selama ini, pantas saja saat nama Mario terlintas, pasti Kak Rio yang ada di dalam bayanganku. Tapi aku kan udah terlanjur suka sama Kak Rio. Sekarang rasa sukaku bercampur aduk dengan rasa benciku terhadapnya.

***
Alvin dan Acha kembali menatapku dengan heran. Mereka saling tatap satu sama lain dan kemudian menatapku lagi.

“Kayaknya Kak Via emang bener-bener udah gila deh, Kak!” kata Acha.

“Kemaren senyam senyum sendiri, sekarang malah murung gak jelas,” gumam Kak Alvin.

Tiba-tiba aku jadi ingin nangis, sekencang-kencangnya.

“HUWAAAA!!!”

Otomatis mereka berdua terlonjak kaget. Aku langsung nangis kejer.

“Lo kenapa, Vi?” tanya Kak Alvin panik.

“Aku patah hatiii!!”

“Ha?”
“Emang kenapa, Kak?” tanya Acha.

“Ternyata Kak Rio itu Mario, yang udah bikin gue phobia sama cowook, huweee…” Aku menangis lagi. Kak Alvin memelukku.

“Udah, lo masih benci sama Rio sampe sekarang?”

“Sedikit demi sedikit udah ilang, Kak…”

“Gini, lo harus jujur sama diri lo sendiri dan Rio. Rio aja udah mau jujur sama lo kalo dia orang yang lo benci, kan? Masa lo gak bisa jujur?” tanya Kak Alvin.

“Iya, aku bakal jujur sama Kak Rio. SROOOT!!”

“Viaa!! Jangan meper ingus lo akh!! Jorok!!”

***
Di sekolah, aku langsung mencari-cari Kak Rio, aku ingin menyatakan perasaanku padanya dan aku mau bilang kalo aku udah gak benci sama dia. Tapi sayangnya aku tak menemukan Kak Rio dimanapun, aku mendesah.

“SIVIA!!”

Aku menoleh, sekelompok kakak kelas sedang memandangku sinis. Mereka langsung menarik tanganku dan membawaku ke pojokkan. Mereka menatapku dengan penuh kemarahan.

“Lo itu masih kelas satu! Jangan kebanyakan gaya deh!!”

“Jual mahal banget sih lo!!”
“Cantik aja nggak, belagu! Sok kecakepan!!”

“Kita bertiga gak suka ngeliat gaya lo yang jaim, sombong, belagu di depan cowok-cowok! Cowok-cowok pada buta apa!!”

Aku ketakutan setengah mati, badanku gemetaran. Aku ingin menangis, mereka gak tau apa-apa tentang aku.

“Udah gitu sekarang lo malah deket sama Rio! Jadi selama ini lo ngincer Rio ya??”

“Bukaan, bukan gituu…kalian gak tau…” gumamku dengan suara parau.

“Alaah alasan!!” tangan salah satu dari tiga cewek itu hampir mendarat di pipiku. Karena takut aku langsung memejamkan mata. Tapi, kenapa tangannya gak sampai-sampai di pipiku? Perlahan aku membuka mata. Mataku terbelalak.

“Gak main tampar ya!” seru Kak Rio.

Kak Rio memegang tangan cewek itu. Dan memandanginya dengan muka penuh amarah.

“Lo bertiga gak tau apa-apa tentang Sivia! Kalo gue liat lo pada masih ganggu Sivia, gue gak akan segan-segan lapor lo bertiga ke Pak Duta kalo perlu ke kepsek!” Kak Rio mengancam mereka. Mereka langsung kabur entah kemana.

Aku langsung menangis. Kak Rio menatapku dengan iba. Kak Rio memegang kedua bahuku.

“Lo gak papa?” tanya Kak Rio.

Kak Rio sepertinya merasa bahwa badanku gemeteran, sehingga ia melepas tangannya yang memegang bahuku.

“Lo masih takut sama gue ya?” tanya Kak Rio.

Aku tetep gak jawab. Aku masih menangis.

“Ikut gue,” Kak Rio menarik tanganku dan membawaku ke taman.

Kak Rio menghapus air mataku yang sudah membasahi wajahku dengan saputangannya.

“Jangan nangis lagi ya,”

Aku mencoba untuk berhenti menangis.

“Gue tahu lo masih benci banget sama gue, tapi gue cuma mau bilang…”

“Gue suka sama lo, Vi…gue sayang banget sama lo,” tutur Kak Rio.

Ucapannya membuat hatiku hangat, rasa benciku langsung hilang begitu mendengar rasa “SUKA” yang dilontarkan sendiri oleh mulut Kak Rio. Kemudian Kak Rio menarik tanganku, ia menaruh sebuah kalung yang bener-bener aku cari selama ini di atas telapak tanganku.

“Kalung ini selalu gue simpen, gue selalu jaga ini baik-baik, gue udah janji dari awal, kalo misalnya gue ketemu sama gadis berpita biru itu lagi, gue bakal ngembaliin kalung ini ke dia,” Kak Rio tersenyum padaku.

Air mataku jatuh lagi, aku nangis lagi, membuat Kak Rio makin panik.

“Aduuh, nangis lagi! Jangan nangis, Vi!!” seru Kak Rio.

Kemudian aku malah ketawa keras-keras, membuat Kak Rio makin panik lagi.

“Lo udah gila ya??”

“Nggak kok, hahaa…”

“Gimana perasaan lo sama gue, Vi?”

“Aku…aku…aku juga suka sama Kakak, aku juga sayang banget sama Kakak,” aku menyunggingkan senyum manis padanya. Aku bisa mengatasi rasa takutku pada dirinya.

“Jadi, lo bukan Riophobia kan??” celetuk Kak Rio. Aku mengangkat alis.

“Riophobia? Maksudnya?”

“Phobia terhadap gue, hehee…” Kak Rio tertawa. Aku tersenyum.

“Aku emang Androphobia, tapi aku bukan Riophobia,” tuturku dengan senyum mengembang di wajahku.

Kak Rio langsung memelukku dengan lembut, dan aku membalas pelukannya. Saat ini aku memang masih mengidap Androphobia, takut akan cowok, tapi sekarang ada tambahan pengecualian. Aku gak takut lagi sama Kak Rio, karena aku bukan Riophobia.

Read Users' Comments (0)

0 Response to "Gue bukan RioPHOBIA"

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Gue itu... -Galak -Judes -Buas -Jail -Gokil -Supel -Humoris -Phobia Jenazah -Suka Film" Animasi -Fanatik Idola cilik -Mania Bola -Selalu bawa Rubiks kemana-mana (masa kecil yg kurang bahagia) Udah deh itu ajjah!!!!