Rumah hallowen

sebentar lagi halloween ... aq post ini spesial hari halloween .. makasih yang mau baca ...

Rumah Halloween :(cerpen-rify):


Halloween. Moment yang khas dengan warna oranye, hitam dan merah, buah labu berwajah, kostum hantu, trick or treat, permen dan hal-hal yang berbau mistis. Ya, itu semua yang ada di hadapanku sekarang. Perkenalkan, namaku Ify, kalian cukup memanggilku Ify, gadis imut nan cantik (narsis nggak apa-apa, kan?) berumur 15 taun yang baru menginjak jenjang pendidikan kelas 1 SMA. Saat ini aku berada di antara orang-orang penggila Halloween yang sedang merayakan pesta kostum. Pesta pada malam hari di tanggal 31 Oktober, yaitu hari Halloween, dimana kita diharuskan mengenakan kostum-kostum hantu. Kostum yang paling uniklah yang dianggap Halloween sejati. Kalian tanya aku pakai kostum apa sekarang? Aku mengenakan kostum andalanku, vampire wanita yang gothic abiss. Keren banget deh! Dari ujung rambut ampe ujung kuku kaki bisa dibilang aku sempurna! Nggak kalah sama peserta pesta lainnya. Selain vampire, ada juga zombie, penyihir, jin, manusia serigala de-el-el. Tepat jam 12 tengah malam. Itu saatnya pesta pun usai. Aku menuju motor yang kuparkir tepat di samping gedung pesta, kostumku sudah kusimpan dengan rapih di dalam tas ranselku, aku sengaja melepasnya seusai pesta, karena nggak mau orang-orang salah paham liat aku pulang dengan kostum itu, bisa dikira drakula asli aku! Hihi... Setelah berpamitan dengan teman-temanku, aku pun mulai tancap gas menuju tempat kost-ku yang sebenernya nggak terlalu jauh. Untung motor matic-ku masih setia menemani perjalanan pulangku, mengingat malam yang semakin larut. Oiya, tahun ini aku menjadi pemenang kostum terunik, gimana nggak, kostum ini adalah perpaduan antara vampire, dan wanita misterius yang rada-rada berbau roma dan gothic, nah loh bingung bayanginnya ya? Nggak tau tuh, ngikut penulisnya aja deh… (?) Aku dan matic-ku berjalan menyusuri jalanan yang sumpah sepii abiiss… jam 12 malem gitu… sejenak barusan bulu kudukku berdiri merinding melewati komplek pemakaman umum. Sial, kenapa aku memilih jalan ini? argh… inilah kebiasaanku, kadang nggak bisa baca kondisi dan situasi yang ada di sekitarku. Jadilah aku menyusuri komplek pemakaman itu dengan penuh rasa tegang dan begidik merinding. Gelap, anyir, dan seram. Ehm, boleh aku bilang? Aku benci suasana ini… Tuhan untuk saat ini saja rubah kecepatan motorku melebihi roket (?) karna aku mulai nggak betah berlama-lama di wilayah yang terkenal dengan ‘hantu’ ini. Entah sial, takdir atau apa yang menimpaku ini, tapi yang jelas bukan keberuntungan. Kalian tanya kenapa? Karena baru saja hujan tiba-tiba turun. Bertahap. Gerimis, mulai melebat, melebat dan sekarang 100% hujan deras. Sontak aku mencari tempat berteduh. Aha! Aku melihat sebuah rumah di ujung jalanku. Dengan segenap kekuatan dan kemampuan terakhir yang kumiliki… (oke, bagian ini kuakui terlalu berlebihan) aku kembali ke matic-ku dan cabut menuju rumah itu… Serambi luar tempatku berdiri sekarang cukup luas, cukup untuk aku dan motorku berteduh. Huft, 00.10. itu adalah angka yang tertera di layar jam digital di tangan kiriku.
‘Jdaarrr!!!’ itu suara petir yang menggelegar hebatnya di telingaku. Jelas aku menjerit.
“Kyyaaa!!!!” jeritku sambil menutupi kedua telinga. Omg… aku mulai takut, semakin takut, hujan tak juga reda, malam makin larut, dan kuakui aku semakin… takut. Tiba-tiba…
‘cekreeekkk’ itu seperti suara pintu tua yang berdenyit kasar.
“Kyaa!!” lagi-lagi aku menjerit, aku bahkan nggak berani menoleh. Hantu? Hantu? Hantu?
“Siapa kamu?” tanya seseorang. Karena aku yakin itu suara manusia biasa aku memberanikan untuk menoleh dan menatap wajah orang yang bertanya barusan. Diluar dugaan! Suara yang kukira hantu itu ternyata adalah milik seorang cowok yang notabene lumayan manis, aku tau itu dari lesung di pipi kanan dan kirinya. Hem… agaknya aku tertarik. “Halo… siapa kamu? Kenapa teriak-teriak?” tanya cowok itu sekali lagi karena mendapati tak ada respon dariku yang melamun.
“Eh? I, iya. Maaf. A, aku Ify. Kamu?”
“Ada perlu apa kamu di sini?” tanyanya pasang muka cuek.
“Aku? Aku cari tempat berteduh. Ehm, apa kamu yang punya rumah ini?”
“Kelihatannya?” orang itu balik tanya.
“Mungkin.” Jawabku sekenanya. Cowok manis di hadapanku ini tertawa kecil, membuat rasa takutku selama tadi sedikit berkurang,
“Kok ketawa?” tanyaku.
“Habisnya, kamu lucu sih!”
“Aku nggak ngelucu tauk! Emangnya aku pelawak?!”
“Aku lihat ada bakat itu dalam dirimu.”
“Hey, tunggu… itu sebuah pujian apa ledekan?!” aku rada sewot menanggapi jawaban cowok itu
“Menurutmu?”
“Eh?” aku kicep, ngeledek rupanya dia, “oke, aku ngalah. Siapa kamu?”
“Kenalin aku Rio. Ya, seperti yang kamu bilang tadi, aku pemilik rumah ini.” Aku memandangi rumah itu tampak depan,
“Ku kira rumah ini masih cukup kalau aku masuk.” Kataku.
“Buat apa kamu masuk?”
“Hey, ternyata kamu nggak peka, ya! Aku kedinginan di luar sini, sekarang ini tengah malam, dan hujan. Apa kamu nggak mempersilakan aku masuk?”
“Aku kan cowok, nggak baik ada cewek yang masuk ke rumah cowok.”
“Kamu tinggal sendirian?”
“Yap!”
“Hemf, oke. I stay here!”
‘Jdaaarrr!!!’ petir lagi.
“Kyaaa!!!!” jeritku kali ini ditambah jongkok.
“Hihi, oke karna kamu kelihatan seperti anak tikus kedinginan yang ternyata juga penakut petir, aku bolehin kamu masuk!” kata orang itu membuka lebar pintu rumahnya. Dengan wajah bersungut-sungut aku memasuki rumah yang gaya arsitekturnya masih kuno itu. ehm, ini terlalu luas untuk ukuran rumah yang dihuni satu orang. Apa tadi? Anak tikus? Seenak dengkul aja dia ngatain aku! Awas dia!
“Apa kamu beneran tinggal sendirian?” tanyaku nggak lepas memandangi sekitar.
“Iya. Ehm, mau minum? Teh atau kopi mungkin?” sebuah tawaran yang kukira nggak akan pernah muncul dari mulutnya. “Boleh deh. Ehm, teh aja. Tapi yang panas ya!”
“Siap!” katanya sambil pose hormat. Aku tersenyum keil melihat tingkahnya, lalu pandanganku teralihkan oleh megahnya rumah itu. Aku duduk di sebuah sofa antik yang berposisi tepat di samping jendela. Dari situ aku bisa melihat luar. Ehm, perasaanku aja, apa memang rumah ini belum pernah kulihat sebelumnya?? Tapi, hampir tiap hari aku lewat sini, kan? Apa aku yang nggak terlalu merhatiin?
“Nih, minumnya!” kata Rio menyodorkanku secangkir teh hangat, aku pun menyeruput teh itu dan merasakan kehangatannya mulai menyelimuti dinginku.
“Enak.” Kataku yang hanya di balas senyuman manis dari Rio. Ada yang aneh dari senyum itu, dibalik senyum manisnya sepertinya ada siratan kesedihan di air mukanya, membuatku mengernyitkan kening. Setengah jam aku di rumah ini. aku belum beranjak dari sofa antik ini. Sedari tadi Rio menemaniku menunggu hujan reda. Walau nggak ada obrolan yang berarti, karena dari tadi kami hanya membahas tentang pesta Halloween-ku tadi, tapi aku senang bisa berkenalan dengan Rio. Sosok yang sekali lagi kubilang manis dengan lesung pipinya. Oiya, satu lagi, ada piercing kecil di telinga kirinya, aku aja baru sadar. Kami mengobrol sampai setengah jam ke depan. Jadi, sudah satu jam aku ditemani Rio. Dan, kurasa hujan mulai reda. Walau masih gerimis, tapi daripada nanti deras lagi, mending aku pamit sekarang.
“Ehm, Yo!” panggilku pada Rio yang baru saja menyeruput teh hangat miliknya.
“Ya?”
“Aku pulang. Kelihatannya udah reda kok.” Entah apa aku salah bicara, tapi sepertinya senyuman Rio menghilang begitu saja saat aku bilang mau pulang.
“Kamu yakin?” tanyanya.
“Iya. Aku ngekost di jalan Mutiara. Lain kali kamu boleh main ke sana.” Rio tersenyum lagi,
“oke. Makasih, ya Fy.”
“sama-sama. Makasih juga buat teh, rumah dan sofanya. Ini adalah tempat berteduh ternyaman yang pernah aku singgahi!”
“Bisa aja kamu!” kata Rio menoyor kepalaku. Kami tiba di ambang pintu keluar.
“Fy, aku boleh ngomong sesuatu?” tanya Rio kali ini lebih serius. “Iya? Ngomong aja kaliFypot amat!” “Aku mau terimakasih sama kamu, udah mau berkunjung ke rumah ini. aku seneng banget bisa dikunjungi. Aku juga seneng bisa kenal kamu. Jangan lupain aku, ya Fy. walau cuma se-jam, tapi aku bahagia pernah ketemu kamu.” Aku balas tersenyum,
“satu lagi yang aku dapet dari kamu selain nggak peka, yaitu lebay!”
“Ah, Ify. Aku serius!”
“Okelah. Aku juga terimakasih, kamu mau pinjemin aku tempat berteduh. Aku pulang ya, Yo. Mungkin besok aku main lagi. Aku mau istirahat dulu.” Sekali lagi Rio menunjukkan ekspresi sedih lalu menunduk.
“Daah, Rio…” salamku.
“Daah…” balasnya,
“oiyaFy.”
“Iya?”
“Happy Halloween…” katanya dibonusi senyuman. Aku melting lagi melihat senyum itu.
“Happy Halloween too, Rio!” jawabku.
Lalu melaju menjauhi Rio dan rumah mewahnya. Ya, itulah pertemuan singkatku dengan seorang Rio. Satu hal yang membuatku merasa janggal adalah ucapannya di pintu rumahnya sebelum aku pulang: ‘Aku mau terimakasih sama kamu, udah mau berkunjung ke rumah ini. aku seneng banget bisa dikunjungi. Aku juga seneng bisa kenal kamu. Jangan lupain aku, ya Fy. walau cuma se-jam, tapi aku bahagia pernah ketemu kamu.’ Entah mengapa ada sesuatu yang aneh dalam kalimat itu, seolah-olah Rio dan aku nggak akan pernah bertemu lagi. Apa maksud Rio? Apa maksud perkataannya? Dan mengapa setiap saat Rio selalu menunjukkan ekspresi menyedihkan itu? Keesokan harinya, semua pertanyaanku terjawab, lebih tepatnya saat aku mengunjungi rumah Rio lagi dan yang kudapat adalah sebuah lahan dengan bangunan dan puing-puing hangus bekas kebakaran yang ada di sana. Ini masalah percaya atau nggak percaya. Tapi yang ada di hadapanku saat itu adalah, sekali lagi ‘puing-puing’ bangunan bekas kebakaran! Nggak ada rumah mewah gaya kuno di sana. Nggak ada pintu kokoh tempat kami pertama kali dan terakhir kali bertemu, nggak ada Rio yang memanggil namaku dan memamerkan lesung pipinya di setiap senyum manisnya. Sekali lagi, nggaka ada. Segala sesuatu yang kulihat malam itu benar-benar lenyap, seolah ditelan bumi. Tadinya aku mengira pasti ada sesuatu yang terjadi semalam, sampai rumah Rio habis dilalap api, tapi setelah aku bertanya pada penduduk sekitar, barulah aku tau yang sebenarnya. Sampai sekarang, setiap aku mengingat wajah Rio, kejailannya dan senyumannya, tak kuasa aku menahan tangis. Seperti malam ini, aku menangis mengingat sosok Rio, hanya satu jam aku diberi waktu untuk mengenalnya. Hanya satu jam. Aku kembali mengingat ucapan warga sekitar tentang Rio dan rumahnya… “Sepuluh tahun yang lalu, rumah itu pernah terbakar, tidak ada yang bisa diselamatkan dari musibah itu, termasuk penghuninya yang merupakan seorang pemuda bernama Rio Agnibari. Dia tewas terbakar hidup-hidup dalam peristiwa naas yang terjadi tepat saat hari Halloween. Dan sejak kejadian tersebut, rumah mewah itu menjadi angker. Dan setiap malam Halloween, seorang Rio akan keluar dari rumahnya dan mengajak seseorang untuk mampir ke rumahnya. Ya, Rio yang kesepian. Rio yang juga ingin merayakan Halloween.” ***

Aku berdiri tepat di depan sebuah rumah mewah. Ya, rumah Rio. Setahun sudah berlalu sejak kejadian itu dan hari ini adalah hari Halloween. Aku kembali mengunjungi rumah yang benar saja bisa kulihat berdiri tegak tanpa tanda-tanda pernah dilalap api.
‘cekleek’ pintu itu kembali terbuka.
“Happy Halloween!” kataku semangat. Rio tersenyum dan mendekapku erat.
“Happy Halloween too, Ify. I miss you…” -tamat-

Read Users' Comments (0)

0 Response to "Rumah hallowen"

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Gue itu... -Galak -Judes -Buas -Jail -Gokil -Supel -Humoris -Phobia Jenazah -Suka Film" Animasi -Fanatik Idola cilik -Mania Bola -Selalu bawa Rubiks kemana-mana (masa kecil yg kurang bahagia) Udah deh itu ajjah!!!!